Di masa penuh kekacauan karena Covid-19 ini, banyak brand bingung memposisikan dirinya di mata konsumen. Di masa krisis seperti ini, sudah pasti brand tidak ingin terlihat oportunis. Tidak ada brand yang ingin dianggap unggul saat semua orang mengkhawatirkan kesehatan, pekerjaan, keluarga – bisa dikatakan segalanya. Hal ini membuat brand akhirnya menarik iklannya karena takut dianggap tidak peka. Padahal sebenarnya mereka juga tidak ingin kalah saing atau dilupakan oleh konsumen karena kepanikan yang melanda. Kendati tidak ada cara baku dalam mengatasi masa ini dan bahwa tren konsumen lama mungkin tidak cocok diterapkan sekarang, perlu diingat bahwa brand yang tidak sesuai dengan gaya hidup konsumen saat ini nantinya akan cenderung ditinggalkan, apalagi tren gaya hidup berubah dengan sangat cepat. Brand bisa menerapkan tren jangka panjang agar tetap relevan dengan situasi baru tanpa harus menggunakan istilah-istilah populer saat pandemi ini (misalnya ‘pembatasan sosial’, ‘kami melakukannya untuk Anda’, atau menggunakan kata ‘ketidakpastian’ berlatar suara piano yang memainkan nada sedih). Kampanye pemasaran yang dangkal, seperti meminta konsumen menjaga jarak dua meter, menjadikan brand terlihat otoriter dan tidak berguna. Konsumen tidak perlu diingatkan tentang peraturan baru oleh sebuah restoran cepat saji; mereka butuh brand yang membantu mereka mengatasi keadaan penuh pembatasan ini. Profesor Byron Sharp (dari jurusan Ilmu Pemasaran University of South Australia) berargumen bahwa, dalam kaitannya dengan penggunaan dan kesetiaan memakai produk, ‘perilaku adalah pendorong kesadaran, persepsi, dan sikap yang kuat’. Artinya, perilaku konsumen saat ini, terlepas dari ketidaknormalannya bahkan bagi standar mereka sendiri, akan memengaruhi cara mereka melihat sebuah brand setelah krisis ini berakhir. Di masa penuh sikap reaktif ini, tren yang tidak menonjol akan tetap bertahan meski masyarakat tidak lagi melakukan panic buying. Brand yang cerdas tidak akan berpikir, ‘setelah tissue toilet, apa lagi selanjutnya?’. Mereka akan melihat perubahan besar pada harapan konsumen dan bersikap sesuai perubahan tersebut untuk memposisikan diri mereka pada realitas pasca-virus korona yang baru. Tren Mintel ‘Hidup – Keadaan Informal’ Tren pertama mungkin sudah jelas bagi orang-orang yang bekerja dengan pakaian rumahnya. Tren Mintel ‘Hidup – Keadaan Informal’ menyoroti bagaimana masyarakat makin lama menjadi lebih kasual dan santai dalam berpakaian. Batasan antara bekerja dan bermain kini jadi abu-abu. Kebutuhan melakukan panggilan bisnis dari rumah telah menyatukan kehidupan rumah dan kerja. Para pekerja jadi sedikit tahu kehidupan pribadi rekan kerjanya melalui rapat Zoom dan kedekatan baru ini akan tetap berlangsung bahkan setelah keadaan kembali normal. Hal ini mengimbas produk pakaian dan perawatan tubuh – prioritas masyarakat kini adalah kebersihan dasar, tak heran makin jarang masyarakat yang menggunakan makeup. Busana athleisure kini telah beralih menjadi ‘busana nyaman’. Brand seperti Everlane dan Universal Standard menawarkan opsi pakaian untuk bekerja dari rumah yang nyaman dan modis, bukan busana musiman seperti biasanya. Setelah semua kembali normal (atau mendekati ‘normal’), akan ada keinginan untuk berdandan kembali, tetapi akan sulit untuk menghilangkan elemen kasual ini sepenuhnya. Nilai kenyamanan – baik secara fisik maupun psikis – akan menjadi sangat penting. Kini orang-orang saling mempedulikan satu sama lain dalam skala yang besar. Manusia jadi lebih jujur dan tak lagi berpura-pura dan bisa jadi kebiasaan ini akan mereka bawa sampai seterusnya. Konsep formalitas akan bergeser dari ritual dan otoritas menjadi kesopanan dan empati – menjadi lebih ‘manusia’. Tren Mintel ‘Keterampilan Bertahan Hidup’ Setelah resesi 2008, kami mengamati munculnya tren baru – bertambahnya jumlah konsumen yang memilih membuat produknya sendiri dibanding produk siap beli. Tren Mintel ‘Keterampilan Bertahan Hidup’ menyoroti kebutuhan awal untuk berhemat berubah menjadi keinginan untuk mandiri. Kini semakin banyak konsumen yang mulai mempelajari keterampilan baru dan bangga karena bisa membuat sesuatu untuk dirinya sendiri. Di masa pandemik korona ini, konsumen tidak hanya menyadari bahwa membuat produk sendiri lebih cepat dan mudah dari pada harus keluar rumah dan membelinya (yang awalnya tidak disukai), tetapi kini mereka punya waktu dan keinginan untuk melakukannya. Kami menemukan adanya defisit ragi internasional karena banyaknya konsumen yang memilih membuat rotinya sendiri. Restoran populer tampil online untuk menunjukkan cara membuat makanan favorit mereka di rumah dan toko kerajinan mengajari pelanggan membuat masker wajah sendiri agar bisa didonasikan ke rumah sakit. Semakin meningkatnya ekonomi barang bekas mengubah cara konsumen membeli barang. Keterampilan baru untuk mengubah barang-barang bekas menjadi baru (upcycling) tak hanya membuat masyarakat bisa berhemat tapi menciptakan kepuasan tersendiri karena bisa membuat sesuatu. Brand dapat mendukung upaya ini dengan menyediakan alat bagi konsumen untuk membuat sesuatu secara mandiri dan mengajarkan cara membuatnya. Jika krisis kesehatan saat ini berubah menjadi krisis ekonomi, yang kemungkinan besar terjadi, konsumen akan lebih mengutamakan nilai dibanding kenyamanan – dan peningkatan keterampilan adalah jawabannya. Tren Mintel ‘Kenyamanan bagi Hewan Peliharaan’ Selain tren ‘Buat Sendiri’, terjadi peningkatan tren untuk mengadopsi hewan peliharaan. Tren ini sudah ada sejak beberapa tahun belakangan karena hewan peliharaan telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan manusia: perawatan gigi langsung kepada konsumen, cabernet sauvignon, es krim, bahkan produk kecantikan Korea dibuat dengan mempertimbangkan faktor hewan peliharaan. Kantor, cafe, dan tempat-tempat yang sering dikunjungi manusia kini memperbolehkan pengunjungnya membawa hewan peliharaan. Tren Mintel ‘Kenyamanan bagi Hewan Peliharaan’ menemukan bahwa saat manusia tak punya keluarga inti, mereka menganggap hewan seperti anaknya sendiri. Artinya, brand perlu memenuhi kebutuhan konsumen pemilik hewan peliharaan yang menganggap diri mereka sebagai orang tua. Di Australia misalnya, permintaan untuk mengadopsi hewan yang diselamatkan meningkat. Orang yang terjebak di rumah karena virus korona mencari hewan peliharaan untuk menjadi teman mereka menjalani masa pendemi ini. Permintaan adopsi meningkat hingga 300%. Sebagian orang cenderung mencari teman untuk menjalani masa pembatasan sosial, sebagian lainnya menggunakan waktunya sebagai kesempatan untuk akhirnya mengadopsi hewan peliharaan yang selalu mereka inginkan tetapi belum punya waktu untuk berkomitmen merawat hewan tersebut, terutama di masa awal adopsi. Dengan bekerja dari rumah, orang-orang punya jadi punya waktu untuk memperkenalkan hewan peliharaan di lingkungan baru dan menjalin kedekatan dengannya. Karena konsumen lebih banyak menghabiskan waktu di rumah dengan teman berbulunya, mereka akan mencari cara untuk bisa lebih dekat dengannya – misalnya dengan mainan yang membuat mereka tetap sibuk saat pemiliknya bekerja, kudapan untuk hewan peliharaan, atau aksesori lain yang bisa memanusiakan hewan peliharaannya tersebut. Brand bisa membuat produk dengan versi ramah hewan, sementara perusahaan jasa perlu menyediakan layanan yang dapat melayani hewan peliharaan. Saat bekerja dari rumah menjadi hal biasa, hewan peliharaan akan terus menjadi teman sepanjang hari, bahkan setelah pembatasan sosial tak lagi perlu dilakukan. Pendapat kami Brand cerdas tidak hanya akan mempertimbangkan tren di masa penuh kepanikan saat ini, tetapi juga pemosisian jangka panjang dan peluang-peluang potensial yang bisa mengubah cara hidup konsumen secara masif. Tren-tren di atas, meski saat ini dianggap terlalu berlebihan, memiliki potensi bertahan dan dapat mempengaruhi perilaku pembelian konsumen di masa mendatang. Brand memiliki peluang untuk menjadi pilar stabilitas di masa yang tidak stabil ini dengan menawarkan keaslian dan kedekatan dengan konsumen. Alih-alih memilih brand dengan gagasan lawasnya akan kesempurnaan dan paling tahu yang terbaik, konsumen akan menilai brand berdasarkan kemanusiaan dan empati. Relevansi bukan berarti bereaksi langsung terhadap setiap krisis atau peristiwa berita. Relevansi berarti memahami apa yang diinginkan konsumen, mengapa mereka menginginkannya hari ini, apa yang mereka inginkan besok, dan menanggapinya dengan menyediakan produk atau layanan yang cocok dengan gaya hidup mereka. Dengan begitu, tren konsumen yang tepat bisa menjadi tonggak stabilitas bagi brand untuk menghadapi krisis yang penuh ketidakpastian ini.