Meski Indonesia lama dikenal sebagai negara pengonsumsi nasi, penelitian terbaru dari agen riset pemasaran global Mintel mengungkapkan bahwa pasar ritel beras Indonesia mengalami perlambatan pertumbuhan. Menurut Ukuran Pasar Mintel, volume ritel pasar beras Indonesia tumbuh sebesar 3% di 2016, sedangkan pertumbuhannya di 2015 mencapai 5 persen. Selain itu, pertumbuhan rata-rata tahunan (CAGR) pasar beras Indonesia antara 2012 dan 2016 bertambah sebesar 3,5% dan diperkirakan hanya akan tumbuh 1,5% dari 2017 sampai 2021. Meski pertumbuhannya melambat, Indonesia termasuk negara dengan konsumsi beras tertinggi–dilihat dari total ukuran pasar–secara global, Vietnam berada di puncak papan peringkat. Vietnam rata-rata mengonsumsi 232,5 kg beras (per kapita) di 2017*; diikuti oleh Thailand sebesar 163,2 kg (per kapita), Tiongkok 119,11 kg (per kapita), Indonesia 103,02 kg (per kapita), dan terakhir Malaysia sebesar 100,2 kg (per kapita). Jodie Minotto, Manajer Riset Makanan dan Minuman Mintel Asia Pasifik, berkata: “Sebagai negara di mana nasi dianggap sebagai makanan pokok utama, secara global Indonesia dikenal sebagai salah satu konsumen beras terbesar. Namun, riset kami menunjukkan bahwa pasar beras ritel Indonesia saat ini mengalami perlambatan pertumbuhan, mungkin karena kini ada kesadaran terhadap tingginya prevalensi diabetes di dalam negeri. Konsumen bereaksi pada kenegatifan akan nasi akhir-akhir ini sehingga minat terhadap diet rendah karbohidrat mulai terbentuk.“ Memang, riset Mintel menemukan bahwa lebih dari satu dari lima (27%) warga urban Indonesia menghindari karbohidrat di 2017, meningkat menjadi satu dari tiga (33%) pada konsumen berusia 35 tahun ke atas. Dari berbagai alasan untuk menghindari karbohidrat, 64% konsumen Indonesia percaya bahwa mereka lebih sehat jika melakukannya, sementara 37% menyatakan bahwa program diet mereka saat ini tidak mengikutsertakan karbohidrat. “Indeks glikemik (GI) pada banyak varietas padi populer akan terus menjadi masalah seiring bertumbuhnya kasus diabetes. Perusahaan beras di Indonesia sedang mencari solusinya, dan jika padi ber-GI rendah tidak dikembangkan dan tersedia secara luas, konsumsi beras kemungkinan akan terus mengalami perlambatan pertumbuhan.” Jodie menambahkan. Di tengah meningkatnya pendapatan, kesadaran akan kesehatan, dan kekhawatiran akan keamanan pangan, warga urban Indonesia juga mulai memilih produk makanan dan minuman dengan kepastian sertifikasi organik; hampir tiga dari 10 (28%) warga urban Indonesia mengaku mencari opsi produk organik saat berbelanja makanan dan minuman. Meski terdapat permintaan, industri makanan dan minuman kemasan kurang memberi respon, dengan hanya 3% dari semua peluncuran makanan dan minuman di Indonesia dari bulan Januari sampai Agustus 2017 yang menampilkan klaim organik, menurut Basis Data Produk Terbaru Global Mintel (Mintel Global New Products Database/GNPD). Kategori makanan bersertifikat organik yang paling banyak dicari cenderung berhubungan dengan makanan pokok seperti beras. Sebanyak tiga dari empat (75%) konsumen urban Indonesia telah membeli beras dan mie organik dalam enam bulan sebelum Juni 2017 **. “Di Indonesia, secara tradisional nasi dilihat sebagai makanan pokok yang terjangkau dan mengenyangkan. Ketika varietas padi organik memicu harga premium, skandal beras baru-baru ini mengakibatkan ketidakpercayaan konsumen pada berbagai merek makanan dan minuman sehingga mendorong mereka untuk mencari kepastian akan sertifikasi produk organik. Konsumen urban Indonesia memilih produk-produk organik karena mereka percaya produk-produk tersebut tidak hanya lebih menyehatkan, tapi juga lebih aman,” Jodie berkomentar. Faktanya, riset baru Mintel menunjukkan bahwa 42% konsumen urban Indonesia menganggap makanan organik bebas bahan berbahaya termasuk residu kimia. Terlebih lagi, lebih dari empat dari 10 warga urban Indonesia membeli produk organik karena pilihan tersebut tidak mengandung bahan berbahaya (45%) dan merupakan alternatif yang lebih sehat (43%). “Beras organik merupakan potensi pasar yang kecil tapi berkembang di perkotaan di Indonesia, yang serapannya difasilitasi oleh organisasi internasional yang diakui. Sebagai hasil dari dorongan ini, pasokan beras organik kemungkinan akan meningkat ke depannya, terutama karena pertanian padi organik terus menarik minat petani lokal di Indonesia. Sementara sebagian besar pasokan ini ditujukan untuk pasar lokal, pasar ekspor merupakan jalan lain yang bisa dikembangkan oleh petani padi. Akhirnya, untuk mengatasi dampak skandal keamanan pangan terhadap produk mereka, merek beras non-organik harus memberi informasi pada konsumen tentang di mana dan bagaimana beras ditanam, dan memberikan jaminan keamanan produk,” Jodie menyimpulkan. *Perkiraan Mintel **Poling pada bulan Juni 2017